VISI DAN MISI SMPN 17

VISI :

Membawa Anak Didik menjadi Siswa yang Beriman, Bertaqwa, Cerdas, Terampil dan Mandiri.

MISI:

Mewujudkan peningkatan sekolah yang berkualitas sesuai Kurikulum Peendidikan

Mewujudkan dan meningkatkan prestasi, kecakapan, dan ketrampilan yang memadai sesuai kemampuan sekolah serta sesuai perkembangan seni budaya.

Mewujudkan penyelanggaraan pendidikan selaras dengan kepribadian bangsa dan terbuka untuk mengikuti perkembangan kemajuan IPTEK

Jumat, 23 April 2010

KELAS 9 F















Kelas 9F, bersamas walikelas Satriyo IS, S.Pd bersama kepala sekolah SMP N 17

KELAS 9E















Kelas 9E bersama walikelas, Ibu, Hj Alfiah dan bapak Kepala sekolah.

KELAS 9 C















Ibu Anik T. S,Pd bersama murid-muridnya kelas 9C.

KELAS 9 B















Kelas 9 B foto bersama wali kelas , Bp. Sarjono, S.Pd.

Kamis, 22 April 2010

KELAS 9 A















Kelas 9A, bersama para muridnya untuk foto bersama

Senin, 12 April 2010

Bertempat di Pendhapi Gedhe Komplek Balaikota Surakarta Walikota Solo Joko Widodo/ Jokowi Kamis 8 April 2010 pukul 10.00 WIB melaunching program yang ditunggu tunggu oleh masyarakat Solo yaitu BPMKS atau Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta. Di saat yang sama di Kantor Pelayanan Terpadu dari pagi sudah banyak Masyarakat yang berkumpul untuk mendaftar. Kurang lebih sudah 600 pendaftar yang menumpuk berkas meskipun pendaftaran akan dilayani setiap hari .BPMKS merupakan bantuan pendidikan yang diperuntukan bagi:

* Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di Kota Surakarta pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs Negeri
* Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di Kota Surakarta pada Jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB
* Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di Kota Surakarta jenjang SD/MI/SDLB Negeri/Swasta, SMP/MTs/SMPLB Negeri/swasta, SMA/MA/SMK/SMALB Negeri/Swasta.
* Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah pada sekolah PLUS jenjang SD, SMP dan SMK Kota Surakarta.
* Siswa warga Kota Surakarta yang yang tidak bersekolah, tetapi masih dalam usia sekolah jenjang SD, SMP dan SMK.

BPMKS dibagi menjadi 3 kategori yaitu gold, silver dan platinum. Adapun berita selengkapnya dapat di lihat di menu utama

Minggu, 04 April 2010

Profil Guru Masa Depan



Profil
Guru Masa Depan

Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini peranan "teaching" amat penting, karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada siswa sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri, dan berguna tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya.

Mengajar hanya dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang yang telah melewati pendidikan tertentu yang memang dirancang untuk mempersiapkan guru. Dengan kata lain, mengajar merupakan suatu profesi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, muncul dua kecenderungan: Pertama, proses mengajar menjadi sesuatu kegiatan yang semakin bervariasi, kompleks, dan rumit. Kedua, ada kecenderungan pemegang otoritas structural, ingin memaksakan kepada guru untuk mempergunakan suatu cara mengajar yang kompleks dan sulit. Sebagai akibat munculnya dua kecenderungan di atas, maka guru dituntut untuk menguasai berbagai metode mengajar dan diharuskan menggunakan metode tersebut. Misalnya, mengharuskan mengajar dengan CBSA. Untuk itu, guru harus dilatih dengan berbagai metode dan perilaku mengajar yang dianggap canggih. Demikian pula, di lembaga pendidikan guru, para mahasiswa diharuskan menempuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan mengajar. Namun sejauh ini perkembangan mengajar yang semakin kompleks dan rumit belum memberikan dampak terhadap mutu siswa secara signifikan. Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pertanyaan mengapa mengajar menjadi sedemikan kompleks dan rumit?


A. Profesi mengaiar

Pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Hard profession dan Soft Profession. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter dan pilot merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan yang dapat menghasilkan lululsan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waktu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service framing bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan dan advokat, merupakan contoh dari kategori profesi ini.

Mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan, dan keyakinan yang dimiliki oleh guru. Dalam proses belajar mengajar, guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi para siswa. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batasbatas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dalammelaksanakan tugas tersebut guru akan dihadapkan pada perbagai problem yang muncul dan sebagian besar problem tersebut harus segera dipecahkan serta diputuskan pemecahannya oteh guru itu sendiri pada waktu itu pula. Sebagai konsekuensinya, yang akan dan harus dilakukan oleh guru tidak mungkin dapat dirumuskan dalam suatu prosedur yang baku.

Agar transfer tersebut dapat berlangsung dengan lancar, maka guru paling tidak harus senantiasa melakukan tiga hal: a) menggerakkan, membangkitkan dan menggabungkan seluruh kemampuan yang dimiliki siswa; b) menjadikan apa yang ditransfer menjadi sesuatu yang menantang diri siswa, sehingga muncul intrinsic-motivation untuk mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan yang lain.

Profesi guru adalah lebih cocok dikategorikan sebagai Soft Profession. Karena dalam mengajar guru dapat melaksanakan dengan berbagai cara yang tidak harus mengikuti suatu prosedur baku, dan aspek dan "sense" dan "art" memegang peran yang amat penting. Misalnya, mungkin saja seorang guru mengajar dengan menyajikan kesimpulan pada awal pelajaran yang kemudian baru dilaksanakan pembahasan. Pada kesempatan lain, ia mengajar dengan menyampaikan bahasan dulu baru menarik kesimpulan. Kalau dokter membedah dahulu baru kemudian membius berarti dokter tersebut melakukan malpraktek, dan pasti akan menghasilkan kecelakaan.

Namun, dewasa ini pekerjaan mengajar diperlakukan sebagai hard profession, sehingga mengajar menjadi suatu proses yang sedemikian kompleks. Sebagai konsekuensinya, maka perlu disusun suatu prosedur perilaku baku dalam mengajar. Secara sadar atau tidak, proses pembakuan prosedur mengajar ini mematikan kreativitas guru. Akibat lebih jauh adalah pekerjaan mengajar bersifat inhuman, diperlakukan sebagai suatu bagian dalam proses industri, yang dapat dikendalikan dan diatur dengan serangkaian Juklak dan Juknis. Kematian kreativitas guru sebagai suatu kehilangan yang patut ditangisi. Sebab, kreativitas adalah merupakan "ruh" dalam proses belajar mengajar.


B. Dimensi mengajar

Proses transfer pengetahuan atau sering dikenal dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) memiliki dua dimensi. Pertama adalah aspek kegiatan siswa: Apakah kegiatan yang dilakukan siswa bersifat individual atau bersifat kelompok. Kedua, aspek orientasi guru atas kegiatan siswa: Apakah difokuskan pada individu atau kelompok. Berdasarkan dua dimensi yang masing-masing memiliki dua kutub tersebut terdapat empat model pelaksanaan PBM. Pertama, apa yang disebut Self-Study. Yakni, kegiatan siswa dilaksanakan secara individual dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat individu. Model pertama ini memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa dapat memusatkan perhatian perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan dari luar, yakni guru. Siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Untuk pelaksanaan model Self-Study ini perlu didukung dengan peralatan teknologi, seperti komputer. Keberhasilan model ini ditentukan terutama oleh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri.

Kedua, apa yang dikenal dengan istilah cara mengajar tradisional. Model ini memiliki aktivitas siswa bersifat individual dan orientasi guru mengarah pada kelompok. Pada model ini kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yang diceramahkan guru. Seberapa jauh siswa dapat mendengar apa yang diceramahkan guru tergantung pada ritme guru membawakan ceramah itu sendiri. Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang didengar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki apabila siswa dapat mengkaitkan pengetahuan dengan apa yang diingat. Model ini sangat sederhana, tidak memerlukan dukungan teknologi, cukup papan tulis dan kapur. Keberhasilan model ini banyak ditentukan oleh otoritas guru.

Ketiga, apa yang disebut model Persaingan. Model ini memiliki aktivitas yang bersifat kelompok, tetapi orientasi guru bersifat individu. Model ini menekankan partisipasi siswa dalam kegiatan PBM, semua siswa harus aktif dalam kegiatan kelompok tersebut. Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan akan ditentukan oteh seberapa jauh kegiatan memiliki kebebasan dan dapat membangkitkan semangat kompetisi. Pengetahuan yang diperoleh dan dapat dihayati merupakan hasil diskusi dengan temannya. Model ini memerlukan teknologi baik berupa alat ataupun berupa manajemen seperti bentuk konferensi dan seminar. Keberhasilan model ini terutama ditentukan oleh adanya saling hormat dan saling mempercayai di antara siswa. CBSA, merupakan salah satu contohnya.

Keempat, apa yang dikenal dengan istilah Model Cooperative-Collaborcitive. Model ini memiliki aktivitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru juga bersifat kelompok. Model ini menekankan kerjasama di antara para siswa, khususnya. Kegiatan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah merupakan konsensus di antara mereka. Konsensus ini didasarkan pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Oleh karena itu, dalam kelompok akan senantiasa dikembangkan pengambilan keputusan. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga di arahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.

Keempat model tersebut tidak ada yang lebih baik satu atas yang lain. Sebab modal mengajar yang baik adalah model mengajar yang cocok dengan karakteristik materi, kondisi siswa, kondisi lingkungan dan kondisi fasilitas. Di samping itu pula, di antara keempat model tersebut tidaklah bersifat saling meniadakan. Artinya, sangat mungkin dalam mengajar memadukan berbagai model tersebut di atas.

Keempat model tersebut pada intinya menekankan bahwa dalam proses belajar mengajar apa yang dilaksanakan memiliki empat aspek, yakni: a) menyampaikan informasi, b) memotivasi siswa, c) mengkontrol kelas, dan, d) merubah social arrangement.


C. Kemampuan yang dibutuhkan

Agar dapat melaksanakan empat langkah tersebut di atas, guru hanya memerlukan tiga kemampuan dasar, yakni a) didaktik, yakni kemampuan untuk menyampaikan sesuatu secara oral atau ceramah, yang dibantu dengan buku teks, demontrasi, tes, dan alat bantu tradisional lain; b) coaching, di mana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan mempraktikan keterampilannya, mengamati sejauh mana siswa mampu mempraktekkan keterampilan tersebut, serta segera memberikan umpan balik atas apa yang dilakukan siswa; dan, c) socratic atau mauitic question, di mana guru menggunakan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa mengembangkan pandangan dan internalisasi terhadap materi yang dipelajari. Tanpa menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, ibaratnya pemain sepakbola yang tidak memiliki kemampuan dasar bermain bola, seperti bagaimana menendang atau heading yang baik dan benar, betapapun dididik dengan gaya samba Brazil atau gerendel Italia tetap saja tidak akan dapat memenangkan pertandingan. Demikian pula untuk guru, tanpa memiliki tiga kemampuan dasar tersebut, betapapun para guru dilatih berbagai metode mengajar yang canggih tetap saja prestasi siswa tidak dapat ditingkatkan. Sebaliknya, dengan menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, metode mengajar apapun akan dapat dilaksananakan dengan mudah oleh yang bersangkutan. Sudah barang tentu apabila guru telah menguasai dengan baik materi yang akan disampaikan.

Sudah saatnya posisi mengajar diletakan kembali pada profesi yang tepat, yakni sebagai soft profession, di mana unsur art dan sense memegang peran yang amat penting. Oleh karena itu, untuk pembinaan dan pengembangan profesional kemampuan guru yang diperlukan bukannya instruksi, juklak dan juknis serta berbagai pedoman lain, yang cenderung akan mematikan kreativitas guru. Melainkan, memperbaiki dan meningkatkan tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana tersebut di atas, serta memberikan kebebasan kepada guru untuk berinovasi dalam melaksanaakan proses belajar mengajar.

Tingkatkan Mutu Siswa


UPAYA peningkatan mutu pendidikan di negara kita merupakan masalah yang harus dicari solusinya secara bersama-sama. Mutu (kualitas) pendidikan di negara kita jauh tertinggal dari negara-negara maju, yang mendesak unsur terkait menanganinya.

Di antaranya, pertama pemerintah harus lebih konsentrasi terhadap masalah itu, dan harus lebih respons terhadap masalah yang terkait dengan lingkungan pendidikan. Yakni, dengan berbagai cara mencari sistem pendidikan yang mengacu pada usaha untuk menyejajarkan kualitas pendidikan dengan negara maju.

Dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun, pemerintah telah berupaya menuju ke arah peningkatan kualitas pendidikan. Yakni mengadakan perubahan sistem pendidikan dan memacu unsur terkait, agar nilai standar keberhasilan belajar lebih meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pelatihan guru pun digelar, para siswa dipacu agar meningkatkan daya pikir serta mampu meningkatkan kreativitasnya.

Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan selain upaya pemerintah yang telah dilaksanakan. Di antaranya pemerintah harus terus berupaya memfasiliasi sumber belajar yang komplet bagi sekolah negeri swasta, menaikkan anggaran pendidikan, meningkatkan subsidi bagi guru swasta (honorer).

Berdasarkan data tahun 1999 sebagaimana yang ditulis Dr. Dedi Supriadi (pakar pendidikan), ia membandingkan persentase kenaikan kesejahteraan guru di Indonesia dengan negara lain. Misalnya, gaji guru di Selandia Baru 185%, Prancis 157%, Amerika Serikat 128 %, Australia 116%, Belanda 111%, Swedia 235%, Firlandia 234%, Jerman, 213%, Skotlandia 120%, Australia, 115%. Bahkan di Norwegia gaji guru SD jauh lebih sejahtera dibanding pegawai di sektor industri dan di setiap musim panas dapat liburan dua kali ke Italia.

Jika dibandingkan dengan negara kita, gaji guru lebih rendah dibanding dengan pegawai industri. Boro-boro bisa liburan ke luar negeri, untuk kehidupan sehari-hari saja harus mencari tambahan lain apalagi guru honorer. Yang kedua, peranan guru harus lebih meningkatkan profesionalisme, guru tidak hanya disanjung, dihormati, disegani, dikagumi, diagungkan, tetapi guru harus lebih mengoptimalkan rasa tanggung jawabnya. Peranan guru sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada pepatah Sunda mengatakan, guru adalah “digugu dan ditiru” (diikuti dan diteladani), berarti guru harus memiliki:

1. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Seorang guru harus mempersiapkan diri sedini mungkin, jangan sampai ia kerepotan ketika berhadapan dengan siswa. Penguasaan materi sangat penting, jangan sampai pengetahuan seorang guru jauh lebih rendah dibandingkan siswa, dan seorang guru harus terampil tatkala proses kegiatan belajar berjalan.

2. Kemampuan profesional yang baik. Seorang guru harus menjadikan, tanggung jawabnya merupakan pekerjaan yang digandrungi. Tidak bisa seorang guru hanya mengandalkan, mengajar merupakan sebagai pelarian dan adem ayem ketika menerima gaji di habis bulan.

Penuh rasa tanggung jawab sangat dibutuhkan, kemampuan untuk mengajar sesuai disiplin ilmu yang dimilikinya. Ironisnya kenyataan kini masih ada seorang guru mengajar tidak sesuai bidangnya. Misalnya, jurusan matematika mengajar bahasa Indonesia, jurusan dakwah mengajar PPKn, jurusan bahasa Indonesia mengajar penjas dlsb.

3. Idealisme dan pengabdian yang tinggi. Hakikat seorang guru adalah pengabdian, dedikasi seorang guru harus tinggi, serta harus mampu menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dengan tujuan mendidik, membina, mengayomi anak didiknya.

4. Memiliki keteladanan untuk diikuti dan dijadikan teladan. Keteladanan seorang guru merupakan perwujudan dari realisasi kegiatan belajar mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat berpengaruh terhadap sikap siswa. Sebaliknya seorang guru yang berpenampilan premanisme, akan berpengaruh buruk terhadap sikap dan moral siswa.

Upaya meningkatkan profesio­nalisme guru menurut Gerstner dkk., peranan guru tidak hanya sebagai teacher (pengajar), tapi guru harus berperan sebagai; (1) Pelatih (coach), guru yang profesional, yang berperan ibarat pelatih olah raga. Ia lebih banyak membantu siswanya dalam permainan, bedanya permainan itu adalah belajar (game of learning) sebagai pelatih, guru mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.

(2) Konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa, menciptakan suasana di mana siswa belajar dalam kelompok kecil di bawah bimbingan guru.

(3) Manajer belajar, guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan, ia membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, mengeluarkan ide terbaik yang dimilikinya. Di sisi lain, ia sebagai bagian dari siswa, ikut belajar bersama mereka sebagai pelajar, guru juga harus belajar dari teman seprofesi. Sosok guru itu diibaratkan segala bisa.

Aspek itu telah diterapkan di negara maju seperti Amerika Serikat, keterkaitan dengan sistem pendidikan di negara kita dapat dijadikan patokan serta bahan studi banding. Menurut Dr. Dedi Supriadi, entah kebetulan atau tidak, sosok guru kita juga sering digambarkan seperti itu. Jauh sejak mulai belajar ilmu keguruan, para calon guru kita sudah tahu bahwa mereka dituntut memainkan peranan yang teramat banyak, meski lebih sering merupakan retorika daripada fakta.”

Penulis, staf pengajar MTs Husainiyah dan SLTP FK Bina Muda Cicalengka.

Tipe Sekolah Ideal



Tipe Sekolah Unggulan menurut saya ada beberapa tipe:
Tipe 1
Tipe ini seperti yang diuraikan di atas, dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar sekolah tersebut tidak luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan karena memilih input yang unggul, output yang dihasilkan juga unggul.
Tipe 2
Sekolah dengan menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus dengan SPP yang sangat tinggi. Konon, untuk sekolah dasar unggulan di Parung, Bogor uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 7 juta. Mahal? Nggak juga tuh, buktinya banyak orang-orang Indonesia yang sekolah di sana. Tidak mahal menurut mereka dibandingkan biaya sekolah di luar negeri, dan memang sekolah ini dibangun untuk membendung arus warga negara Indonesia yang berbondong-bondong sekolah ke luar negeri. Otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan beberapa “jurus” pola belajar dengan membawa pendekatan teori tertentu sebagai daya tariknya. Sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikannya.
Tipe 3
Sekolah unggul ini menekan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah tersebut (input ) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi.
Ada baiknya kita lihat definisi dari sekolah unggulan yang berkembang saat ini. Sekolah Unggulan adalah Terjemahan bebas dari “Effective School”
An Effective School is a school that can, in measured student achievement terms, demonstrate the joint presence of quality and equity. Said another way, an Effective School is a school that can, in measured student achievement terms and reflective of its “learning for all” mission, demonstrate high overall levels of achievement and no gaps in the distribution of that achievement across major subsets of the student population.
(EFFECTIVE SCHOOLS RESEARCH AND THE ROLE OF PROFESSIONAL LEARNING COMMUNITIES)
Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya tersebut.
Nah timbul pertanyaan dari saya pribadi soal ujian nasional yang dilaksanakan kemarin, apakah memang benar evaluasi tersebut mampu menunjukkan kemampuan anak secara terukur dan mampu menunjukkan prestasinya tersebut?
Karena sekolah bisa dikatakan unggul dalam pencapaiannya. Ada beberapa faktor yang harus dicapai bila sekolah tersebut bisa dikategorikan sekolah unggul:
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional
Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah yang maju namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah.
Penelitian Standfield, dkk (1987) selama 20 bulan di Sekolah Dasar Garvin Missouri dan Gibbon (1986) di sekolah-sekolah negeri di Ohio selama tahun ajaran 1982/1983, keduanya menemukan bahwa peran kepala sekolah yang efektif dan profesional mampu mengangkat nama sekolah mereka sehingga mampu memperbaiki prestasi akademik mereka.
2. Guru-guru yang tangguh dan profesional
Guru merupakan ujung tombak kegiatan sekolah karena berhadapan langsung dengan siswa. Guru yang profesional mampu mewujudkan harapan-harapan orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari di dalam kelas.
3. Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas
Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah.
4. Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran
Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, di bawah pohon atau di dalam gerbong kereta api -siapa yang sudah baca Toto Chan?- Yang jelas lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa
5. Jaringan organisasi yang baik
Jelas, organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas.


6. Kurikulum yang jelas
Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang sentralistik dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan hanya memuat 20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan mengajar guru dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga sentralistik menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan budayanya.
Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan kurikulum disesuaikan di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan pembelajaran diserahkan kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan target pencapaian pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya. Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya mampu dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.
7. Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai
Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentivikasi dan dapat terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.
8. Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.
Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah.
Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat, yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara perorangan. Namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM Indonesia

Guru Ideal



Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar).
Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari “Google” di internet. Bila ada peserta didiknya yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para anak didiknya dengan cepat dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan menyampaikan pengajarannya. Guru yang ideal adalah guru yang juga rajin menulis. Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, akan mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang sensitif terhadap waktu. Orang Barat mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money. Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik.
Keempat, Guru yang ideal adalah guru yang kreatif dan inovatif. Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy and paste tanggal dan tahun saja. RPP tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan inovasi yang terus menerus, tiada henti.Guru yang kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya mengerti tentang apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri. Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam proses pembelajarannya. Dia selalu memperbaiki proses pembelajarannya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Dia senantiasa belajar sepanjang hayat hidupnya.
Terakhir, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Jujur bukanlah kebijakan yang terbaik, tetapi jujur adalah satu-satunya kebijakan. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan. Selain itu kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan tidak memperdulikan orang lain. Dia harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak gampang marah, tersinggung, dan mudah melecehkan orang lain. Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal.

Wijaya Kusumah
Guru SMP Labschool Jakarta

Jumat, 02 April 2010

Guru Profesional itu Terlahir atau Dididik?



Guru Profesional itu Terlahir atau Dididik?

Sekitar 1.000 guru dari penjuru tanah air akan berpartisipasi dalam Konferensi Guru Indonesia yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 27-28 November di Jakarta. Sepuluh guru yang terpilih akan mempresentasikan makalah mereka pada sesi paripurna di konferensi itu (Jakarta Post, 15 November).
Acara ini membutuhkan dukungan dari masyarakat umum terkait bahwa para guru kini sedang menuju ke suatu paradigma baru yang melihat pengajaran sebagai suatu pekerjaan yang professional. Kita perlu menyadari bahwa banyak guru, jika bukan mayoritas, di negeri ini belumlah memiliki standar professional. Menikmati kegiatan mengajar adalah penting, tetapi menjadi guru professional memerlukan sesuatu yang lain lagi.

Mengajar adalah perkerjaan yang begitu sulit dan penuh tuntutan, tapi sayangnya mereka yang mempunya profesi ini tidak dibekali pelatihan yang memadai. Belum lagi, mereka sering kekurangan dukungan dari orang tua dan masyarakat, yang merupakan stakeholder lain dalam dunia pendidikan nasional. Disamping peran penting mereka, para guru pada umumnya ada di ranking bawah dalam strata sosio ekonomi, dan lebih dari semua itu, mungkin, mereka kekurangan kesempatan untuk berkembang.

Kami gembira mendengar bahwa tujuan dari konferensi ini adalah untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, serta rasa percaya diri para guru dalam mengekpolrasi pendekatan baru untuk mengajar, sebagaimana dikatakan oleh Kenneth J Cock, director dari Sampurna Foundation Teachers Institute yang menangani konferensi ini. Lebih lagi, kita bisa belajar dari negara-negara maju tentang bagimana untuk meningkatkan kemampuan mengajar. Para guru Amerika, China, dan Jepang menyatakan bahwa mereka sengaja memilih guru sebagai sebuah profesi.

Mengapa mereka memilih karir di bidang pengajaran sebagai pilihan pertama? Alasan yang mendasar adalah karena kebudayaan di tiga negara itu menghormati mereka yang punya perhatian pada anak-anak. Gaji, kebanggaan, kondisi kerja, dan liburan musim panas dilihat sebagai hal yang kurang penting. Para guru semata-mata mencintai mengajar anak-anak.
Guru yang baik itu terlahir, bukan dibentuk. Pengajaran yang baik terjadi jika guru punya kepandaian khusus dalam mengajar murid dan tetap menjaga perhatian dan antusiasme mereka tentang pembelajarannya. Ini secara umum diterima di banyak kejuruan pendidikan, bahwa mengajar adalah seni yang tidak bisa diajarkan. Dalam kaitannya dengan hal ini, diasumsikan bahwa para guru akan mendapatkan sedikit dari pelatihan tentang bagaimana untuk merancang dan mengajarkan pelajaran yang efektif berdasarkan kebutuhan murid. Kursus-kursus dalam metode pengajaran didesain untuk melayani tujuan-tujuan yang berbeda.

Dalam satu sisi, kursus semacam itu menyuguhkan teori pengajaran dan pengembangan kognitif. Walaupun hal-hal ini memungkinkan bagi para guru untuk mengutip teori-teori terbaru, tetapi teori tetaplah generalisasi yang luas dan susah untuk diterapkan di dalam kelas. Dalam sisi ekstrim yang berlawanan, pelatihan ini menyedikan saran-saran yang khusus tentang kegiatan dan materi yang mudah digunakan, dan para murid pasti menyukainya. Sebagai contoh, tidak satupun dari kita akan membiarkan diri kita dirawat oleh seorang dokter yang belum berpengalaman di sebuah rumah sakit selama beberapa tahun dan dibawah pengawasan dokter ahli yang berpengalaman.

Kita belum akan rela untuk mempercayakan anak-anak kita pada guru, yang sesudah menyelesaikan pelatihan kerjanya, hanya mempunyai pengalaman mengajar yang singkat. Biasanya, pelatihan-pelatihan yang diikuti banyak guru di Asia dilaksanakan pada masa kerja sesudah kelulusan dari universitas. Para lulusan program pendidikan guru masih dianggap sebagai novis yang perlu bimbingan dan dukungan dari rekan-rekan sejawat yang berpengalaman.

Sayangnya, pengalaman ini tidak pernah dipertimbangkan sebagai prasyarat utama bagi pengajaran di Indonesia. Para guru kami biasanya punya sedikit pendidikan formal saja, karena masyarakat tidak mengharapkan pelatihan guru sebagai satu program pokok di universitas. Mereka menganggap program pendidikan guru sebagai proyek yang insidental saja, ketimbang sebuah studi yang serius.

Kompetisi, untuk pekerjaan mengajar di Asia jauh lebih tinggi disbanding dengan di AS. Di Jepang, sekitar 200.000 orang mengambil bagian dalam ujian sertifikat yang sulit tiap tahunnya, tetapi hanya sekitar seper-limanya akan mendapatkan pekerjaan mengajar. Keinginan akan profesi mengajar di Jepang adalah bukti bahwa para calon yang gagal pada usaha mereka yang pertama akan mencoba lagi untuk kedua-kalinya supaya lulus ujian. Di AS, kondisinya berlawanan, para guru yang bersertifikat hampir dipastikan bisa mendapatkan pekerjaan jika mereka mau untuk ditempatkan.

Di Indonesia, sertifikasi guru tidak berlangsung dengan baik oleh sebab banyaknya aspek yg menyimpang dalam prosesnya. Sertifikasi ini lebih seperti alat untuk menyeleksi ketimbang alat yang produktif dan strategis dalam pengembangan kualitas guru. Sarjana kita juga ragu-ragu untuk memilih mengajar, takut akan kesulitan keuangan yang mungkin mereka hadapi nantinya. Apa yang kita perlukan untuk mengembangkan pengajaran dan pembelajaran adalah sebuah profesi yang nyata untuk menyegarkan martabat.

Sulitlah untuk mendefinisikan guru yang ideal. Persayaratannya banyak. Di Asia, guru yang ideal adalah seorang penyaji yang punya ketrampilan. Sebagaimana seorang aktor atau musisi, substansi dari kurikulum menjadi skenario atau notasi; adapun tujuannya adalah untuk menyajikan permainan itu se-efektif mungkin. Ketimbang mengekskusikan kurikulum sebagai sesuautu yang rutin, guru yang terampil berusaha keras untuk menyempurnakan presenatsi dari tiap pelajaran.

Di AS, para guru dipandang sukses jika mereka inovatif, inventif, dan orisinil. Presentasi yang terampil dari sebuah pengajaran tidaklah cukup, dan bahkan mungkin diolok-olok karena mengindikasikan kurangnya bakat inovatif. Banyak standar muncul untuk mengatakan apakah seorang guru ideal atau tidak. Ini berbeda di tiap Negara. Dalam pendapat saya, guru-guru kita haruslah memenuhi empat syarat, yakni kemampuan untuk bisa menerangkan seuatu dengan jelas, kepekaan terhadap kabutuhan dan karakteristik individu dari masing-masing murid, antusiasme dalam mengajar, punya standar yang tinggi untuk murid, dan sabar. Saya pikir para guru perlu untuk menunujukkan dan menerapkan syarat-syarat itu dalam pengajaran mereka.

Abdullah Yazid adalah program officer di Sekolah Masyarakat Madani Averroes (Civil Society School Averroes) Malang. Dia bisa dihubungi melalui abdullahyazid@yahoo.com .

Guru Yang Baik Menurut Siswa



Pendapat Anak Tentang Guru yang Baik

Program Pendidikan dan Pengembangan Anak (MOE-UNICEF 2001-2005 China) mempromosikan lingkungan ramah anak untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan semua anak usia sekolah dapat tumbuh dan belajar di lingkungan yang aman, ramah dan tidak diskriminatif. Guru adalah faktor kunci bagi pewujudan sekolah ramah anak (SRA) dengan cara membantu meningkatkan minat anak-anak dalam pembelajaran, partisipasi dan pengungkapan pendapat.
“Ibu guru Gao seperti ibu bagiku. Dia mendengar semua masalah dan keluh kesah kami serta membantu kami menyelesaikan masalah” Zhang Qi, siswa kelas 4
Akademi Ilmu Sains Beijing mengundang anak-anak China untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang guru ideal. 4.000 lebih anak-anak dari seluruh China telah memberi tanggapan. Lewat kata-kata dan gambar, pesan anak-anak dengan jelas menggemakan semangat Konvensi PBB tentang Hak Anak. Mungkin inilah waktunya bagi orang dewasa untuk mulai mendengar anak-anak, mendengar apa kata mereka mengenai hal-hal yang mempengaruhi mereka.
“Guru Shan selalu melucu dalam kelas menulis kami dan membuat kami sangat tertarik dalam pelajaran itu. Tanpa saya sadari, saya jadi sangat suka menulis dan secara bertahap, saya mempelajari beberapa trik untuk menulis dengan baik.”Shi Yujing, Kelas 5
Anak-anak di Cina, melalui tulisan dan gambar mereka, mengungkapkan bahwa mereka ingin para guru menghormati harga diri siswa, sensitif terhadap kondisi emosi mereka, memberi kebebasan mengekspresikan diri dan bersikap adil pada semua anak apapun latar belakang, gender, kemampuan, dan ciri-ciri individual lainnya. Sebagian besar anak memimpikan guru-guru yang penyayang dan perhatian!
Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri. Pemerintah, pakar dan orang-orang yang berkompeten serta masyarakat dan media memiliki haparapan-harapan mereka masing-masing. Akan tetapi, belum banyak orang tanya kepada anak-anak sebagai penerima layanan pendidikan apa pendapat mereka mengenai hal ini. Pada kenyataannya, anak-anak merupakan alasan munculnya profesi guru dan melalui mereka pulalah profesi ini mendapat nilai yang berharga. Buku yang berisi pendapat anak dalam cerita-cerita dan gambar-gambar dapat berguna bagi guru dan pelatih guru sebagai katalis refleksi diri. Buku tersebut juga dapat digunakan dalam kelompok-kelompok belajar untuk memotivasi dan membantu para guru bersama-sama merefleksikan diri dan mencari cara mencapai standar yang diinginkan anak-anak pada mereka. Sangat penting bahwa ungkapan jujur anak-anak menginspirasi dan memotivasi para guru untuk mengembangkan tingkat tanggapan guru pada kebutuhan siswa.
“Dia memperlakukan tiap siswa dengan setara. Dalam kebaikan hatinya, dia tidak pernah memihak. Sebagai murid, ini adalah hal yang paling berharga tentang guru… Dalam kelas guru Chen, kami merasa santai dan hidup (bersemangat). Dia selalu “tanpa sengaja” mengajukan pertanyaan atau membuat kesalahan agar kami dapat membetulkannya. Jika kami mengatakan sesuatu yang salah, tidak menyalahkan kami. Dia bahkan akan berkata sambil tersenyum: “Kesalahan Bagus! Kesalahan membantu kami menemukan masalah-masalah". Tidak seberapa lama kemudian, bahkan siswa yang paling pemalu mau mengangkat tangan dan menjawab pertanyaannya.” Tang Yiyi, kelas 4
Di Pakistan, sebuah ulasan mengenai “apa yang membuat seorang guru dinilai baik” juga dilakukan dengan bantuan Save the Children-UK (2001). Tidak hanya murid, tapi juga orangtua dan para guru juga ditanyai pendapat mereka tentang seorang guru yang baik. Ulasan itu menunjukkan bahwa guru yang baik merupakan hasil kombinasi sejumlah faktor, termasuk pendidikan dan pelatihan, kompetensi dan pengawasan serta dukungan kepala sekolah dan guru.
“Guru kami tahu nama tiap anak” Anak laki-laki dari Peshawar
“Dia menjelaskan pelajaran di papan tulis. Jika seseorang tidak paham, dia akan mendudukan anak itu disebelahnya dan menjelaskan lagi pelajaran itu.” Anak perempuan dari Kasur
“Dia menghormati anak-anak, dia selalu memanggil mereka ‘aap’” (‘aap’ ~ bentuk sopan ‘kamu’)
Anak perempuan dari Lahore
“Guru kami selalu memperhatikan tiap anak ketika mengajar.”Anak laki-laki dari Haripur
Guru yang mampu menangani hukuman dan manajemen kelas dalam cara yang positif sering disebut sebagai karakteristik guru yang baik. Manajemen kelas mengacu pada perilaku guru yang memfasilitasi belajar-mengajar. Manajemen kelas ini sangat penting terutama dalam penanganan kelas besar, pengajaran lebih dari 1 kelas secara simultan, berhubungan dengan anak-anak yang pandai, nakal, pemalu dan lemah. ‘Bagaimana guru yang baik itu’ menggunakan wawancara, diskusi kelompok, bermain peran dan gambar dalam mengumpulkan pendapat anak-anak tentang guru.
“Saya mengajar mata pelajaran yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda-beda pula. Misalnya, saya mengajar bahasa Urdu seperti cerita. Pertama-tama, saya membaca lalu anak-anak memerankan pelajaran. Saya memberi tiap anak kesempatan membaca tiap hari, dan puisi-puisi dilagukan.” Guru wanita Peshawar
Ulasan tersebut menunjukkan dengan jelas beberapa karakteristik guru yang baik. Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.
Diadaptasi dari “Anak-anak menentukan kualitas yang menjadikan seorang guru baik” (UNICEF, Cina, 2004) dan “Apa yang menjadikan seorang guru baik” (Save the Children UK, Pakistan, 2001).

Kekerasan Harus Kena Sanksi



Makassar - Pemukulan terhadap Khadafi (12), siswa kelas I SMP Negeri 1 Tamalate, Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel), disesalkan Mendiknas M Nuh. Menurut Mendiknas, siapa pun pelaku kekerasan di sekolah harus mendapat sanksi.

"Siapapun yang menerapkan prinsip kekerasan di sekoah harus kena sanksi. Tapi (pemberian sanksi) harus memenuhi prosedur hukum yang berlaku," kata M Nuh di Hotel Imperial Aryaduta, Jl Pasarikan, Makassar, Rabu (24/3/2010).

Namun M Nuh menolak berkomentar soal jenis sanksi yang harus dikenakan kepada guru tersebut. Nuh berkilah, hal tersebut bukan wewenangnya.
"Soal rekomendasi dipecar atau tidak, saya tidak punya hak. Itu wewenang dewan guru dan dinas pendidikan setempat," tukas Nuh.
Sebelumnya diberitakan, Khadafi harus menjalani perawatan di RS Bhayangkara, Jl Mappaoddang, Makassar, setelah mengalami tindak kekerasan di sekolah, Senin (22/3/2010). Bola mata kiri bocah tersebut robek akibat dipukul dengan kayu asam oleh gurunya sendiri.

Aksi kekerasan guru itu dipicu persoalan sepele. Khadafi menendang sampah plastik mi instan ke luar kelas yang dibuang temannya. Secara kebetulan, ADK, ibu gurunya masuk ke dalam kelas untuk mengajar mata pelajaran Matematika. Menyaksikan Khadafi menendang sampah, ia langsung menampar pipi Khadafi. Guru itu juga menjerembabkan kepala Khadafi ke papan tulis.

Seolah masih belum puas, ADK kemudian mengambil sebilah kayu asam dan mencoba memukul Khadafi. Bocah malang itu dengan refleks mencoba menangkis pukulan gurunya. Namun malang, kayu asam itu malah mengenai mata kirinya. Anak yatim itupun langsung tersungkur di lantai.

Orang tua korban telah melaporkan ADK ke Polsek Tamalatea. Tapi karena Polsek Tamalatea dinilai lambat, orang tua korban kemudian melanjutkan laporannya ke Polres Jeneponto.